Sandal Megalomania

Pria sekarang semakin doyan bersolek. Ah, bukan, bukan, maksudku semakin memperhatikan cita rasa dalam penampilannya, terutama yang tinggal di kota macam Bandung. Beragam aksesori pria semakin artistik dan mencerminkan karakter pemakainya, tak kalah dengan ragam aksesori wanita. Sebut saja untuk yang satu ini, sandal, yang selain berfungsi utama sebagai alas kaki, juga harus matching dengan kepribadian orang dan busana yang dikenakannya.

Alkisah saya sedang mencari sandal baru untuk menggantikan sandal lama yang sudah usang. Well, biasanya atas alasan kepraktisan, saya (dan mungkin sekian banyak pria lainnya) akan memilih sandal tipe ATS (All Terrain Sandal), alias sandal satu bisa dipake macam-macam. Mulai dari jalan-jalan santai sampai hiking ringan.Ya, benar, untuk yang begini, sandal gunung adalah jawabannya.

Selain penampilannya yang macho, sandal gunung terkenal awet, dan akibatnya, jarang dirawat alias jarang dicuci, karena pria menganggap sandal itu sudah mampu merawat dirinya sendiri (what?). Tak heran, banyak sandal gunung yang mengakhiri masa baktinya dalam keadaan yang cukup tragis. Terkoyak di sana-sini, hilang, sampai mengeluarkan bau yang tak keruan.

Strategi ATS ini jelas sekali menyimpan kekurangan besar. Coba pikirkan, apa jadinya mobil jeep yang biasa untuk offroad dipakai untuk datang ke acara-acara onroad? Ya, pemiliknya akan nampak cuek, tak bisa menempatkan diri, dan agaknya, si mobil juga malu. Demikian juga dengan sandal gunung yang dipakai untuk bertandang ke rumah orang lain, makan-makan silaturahmi di restoran, atau sekedar mampir ke toko buku besar. Sandal gunung akan nampak terlalu macho. Cuek lebih tepatnya.

Maka saya putuskan untuk mengubah strategi per-sandal-an ini. Mari kita pilih sandal yang sesuai dengan habitatnya. Gunung untuk hiking, dan sandal ala bapak-bapak mapan untuk selainnya. Bagaimana, canggih bukan? (kemana aja loe?). Sudah saatnya memperhatikan penampilan. Tak perlu macam model tersohor di Milan, tapi setidaknya tidak terlalu amburadul macam tentara baru keluar dari hutan. Maka sore itu strategi hebat ini diputuskan. Btw, alasan sebenarnya lebih pada harga sandal gunung bagus yang ternyata agak mahal, jadi ‘terpaksa’ cari alternatif tanpa harus kehilangan muka. Maka muncullah strategi di atas.

Sandal cokelat muda ini cukup manis dilihat dan nyaman dipakai. Tapi ternyata bukan itu daya tarik sesungguhnya yang ditawarkan pembuatnya. Wajar bukan, bila kita melakukan uji coba ‘kepeleset’ pada sandal yang mau kita beli. Maksudnya, saat dipakai, sandal mampu mencengkeram tanah dengan baik, sehingga kelak kita bisa sigap berlari jika harus mengejar seorang pencopet di keramaian mall. Maka kuperiksa telapak sandal itu.

Peta Australia
Peta Australia

Subhanallah! Bukan main! Lihatlah kawan, telapaknya bukan sembarangan. Peta sebagian dunia, yakni benua Australia tertulis di atasnya! Tepat berada di kakimu kemana pun kau melangkah. Bukan main, betul-betul bukan main pembuatnya. Besar sekali imajinasinya membuat sandal. Bukan hanya untuk melangkah biasa. Melainkan ia ingin mengajak kita melangkah besar. Langkah yang mendunia. Jelajahi Australia dan dunia, mungkin begitu pesannya. Walaupun sangat sulit kuhindari untuk mengaitkan (sebagian) dunia di telapak sandal ini dengan konsep “Megalomania” dari Ustadz Anis Matta.

Konsep ala Nabi Sulaiman ini mengajarkan pikiran kita untuk mendunia, bahwa suatu saat nanti peradaban dunia ketiga, dunia timur, kelak minimal akan sejajar dengan peradaban Barat. Target ujungnya mengontrol, mendominasi, dengan nilai keimanan, kebaikan dan keadilan, tentu saja (tapi mengejar Barat untuk sejajar saja sudah ngos-ngosan, nggak nyampe-nyampe. Kita maju selangkah, situ sudah seribu langkah). Lalu mengadakan dialog peradaban, untuk bersama-sama membangun dunia yang lebih baik, yang lebih beriman, tepatnya. Dan untuk mencapainya harus dimulai dari pikiran megalomania itu.

Jadi, strategi membeli sandal megalomania ini sudah tepat nampaknya. Merasakan perasaan mendunia, “the world at your feet“. Entah mengapa tiba-tiba aku terkena sindrom megalomania ini. Aku merasa gagah sekali saat melangkah, disertai beban berat dari ‘dunia’ yang kuinjak setiap kali berjalan. Bukan main ini sandal. Sesaat aku merasa menjadi Ibnu Batutah atau Marcopolo yang mahsyur akan perjalanan keliling dunianya yang melegenda. Efek psikologisnya bukan main, rasanya kaki ini akan siap melangkah ke dunia, memimpin peradaban yang gilang gemilang, sekali lagi. Besar dugaanku pembuat sandal ini mungkin terinspirasi dari sandal-sandal milik para pembesar zaman kuno. Bukan tak mungkin para khalifah memesan sandal bertapak kaki peta dunia untuk memberinya sugesti lebih akan daerah yang akan dibebaskannya. Atau setidaknya seperti kata tokoh Arai dalam Laskar Pelangi, “Dunia, ini Aku, datang padamu”.

Demikian sejarah sandal megalomania yang inspiratif itu. Belakangan aku harus rela melepas ambisiku untuk mengejar copet di mall itu, jika ada. Sebabnya, tak lain akibat peta dunia di sandal itu, karetnya tak mencengkeram kuat di lantai yang licin. Sebenarnya dia tak lulus tes ‘kepeleset’, namun godaan “the world at your feet” ini begitu sulit ditolak. Pelajaran penting segera kuambil. Untuk menjadi megaloman, risiko langsungnya adalah mudah terpeleset dan terjungkal. Terjungkal karena terlalu banyak bermimpi, atau terlalu sombong ingin menaklukkan dunia di kakinya sendiri.

7 thoughts on “Sandal Megalomania

Add yours

  1. terkadang, masalah prinsip bisa runtuh juga yah gara2 hati kita terpikat sesuatu yang melebihi logika. duh, cinta. deritanya tiada akhir. ampe mau beli sendal juga nggak bisa kompromi kalo ama cinta. 😀

  2. sendal baru, alhamdulilah 😀 [sambil dinyanyiin]

    waw 😀 keren keren. gaya. mau juga dong, beli dimana?
    ada buat ce ga ya? ada yang petanya amrik gak?

  3. @ Yudha: Yudh, prinsip Megalomania ini kalau ketemu prinsip lain akan ditelannya bulat-bulat, dan masih logis kok, cuma memang agak maksa :p

    @ mas Andik: saya juga ga ngerti, saya mah ngomongin sandal. Tiba-tiba Bung Trian dan kang Yudha hadir dengan cinta/hati-nya. Romantis.ok, makasih mas.

    @ Googliversity: kamu juga masih tetep semangaaaaaat… kaya dulu.
    Alhamdulillah kalau masih lucu Dhy, maklum saya masih terinspirasi komedi TV yang judulnya “Akhirnya Lucu Juga”

    @ mia: he3, sandalnya udah lama Mi, cuma postingannya yg baru. Jadi lagunya “sandal lama, alhamdulillah…”.
    kalo buat cewe namanya sandal “megalo-woman-ia”, tapi saya ga tahu bentuk fisiknya ada apa ga. Entah sehati atau sama2 ga gaul, contoh model lain yg mereknya sama ada di Pam2. Cuma gak tahu dia dapet peta apa :p. Tes beli di Carrefour kircon pas jaman baru buka, waktu itu cuma ada 2-3 model, n gak semua saya liat petanya. Alternatif lain, sandal biasa diganti solnya ama tukang sol sekalian pesen sol baru bermotif peta dunia bisa kali ya?

Leave a reply to mia Cancel reply

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑