Burung Kutilang

Dipucuk Pohon Cempaka
Burung Kutilang Berbunyi
Bersiulย Siul Sepanjang Hari
Dengan Tak Jemu Jemu
Mengangguk Angguk Sambil Berseru
Trilili Lili Lilili

Sambil Berlompat Lompatan
Paruhnya Slalu Terbuka
Digeleng Gelengkan Kepalanya
Menentang Langit Biru
Tandanya Ia Suka Berseru
Trilili Lili Lilili

(Ciptaan: Bintang Soedibjo,
Aransemen gitar: Jubing Kristianto)

—–
Ket: Gambar dari Wikipedia

Catatan Akhir Tahun

Tulisan pertama saya di aprasetyo.wordpress.com ini tercatat pada 24 April 2007. Tulisan itu berupa resensi buku “The Present” yang saya baca di sebuah ruangan di perpustakaan pusat ITB yang nyaman sekali. Saking nyamannya, waktu dua jam saya habiskan sambil bersantai sekaligus menghabiskan buku itu. Karena cukup berkesan, saya tak tahan untuk tidak berbagi. Resensi itu sekaligus mengawali posting pertama di blog yang telah berusia 2 tahun ini.
Apalah arti 2 tahun berbagi lewat tulisan? Apalagi saya tidak cukup rajin untuk menampilkan tulisan baru setiap harinya seperti yang Pak Dosen ini lakukan. Paling saya pasang target setidaknya sekali seminggu ada satu tulisan. Lama kelamaan saya naikkan jadi dua tulisan per minggu. Itupun tidak bisa selalu saya penuhi. Jika dihitung sejak April 2007 hingga Desember 2009 (20 bulan), saya baru mampu menghasilkan 121 tulisan. Ini berarti rata-rata 6 tulisan per bulan, yang artinya tidak sampai 2 tulisan per pekan. Itupun tanpa standar bentuk tulisan yang dimaksud. Bisa berupa tautan video dengan komentar tak panjang, sebuah lelucon, sampai tulisan yang bersambung tiga kali. Mohon maaf pula, masih ada beberapa tulisan yang belum ada sambungannya. Artinya, saya masih belum konsisten menjaga ritme menulis saya. Jika dibandingkan dengan 500 tulisan yang ditulis Bung Karno selama 4 tahun pada usia seperti saya sekarang ini, saya baru bisa mengejar setengahnya. Jelas tak usah dibandingkan dari sisi kualitas. Tulisan Bung Karno ‘menggerakkan’ rakyat, penuh semangat perjuangan, dan kritik keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Berbeda dengan tulisan saya yang hampir semuanya seputar human interest saya pribadi.
Saya memang belum bermaksud untuk ‘menggerakkan’ Anda sebagi pembaca. Saya hanya membayangkan Anda membaca tulisan saya sambil santai. Santai, tapi tetap dapat ‘sesuatu’. Tak heran hampir di setiap paragraf saya bumbui dengan ‘hehehe…” atau ๐Ÿ˜› untuk mengikuti gagasan yang saya rasa mulai ‘serius’. Saya tak ingin Anda merasa pusing karena terjebak di paragraf-paragraf tulisan saya. Saya tak mau Anda meninggalkan tulisan saya dengan rasa murung apalagi kecewa. Saya ingin Anda terhibur. Setidaknya, dengan satu senyum simpul di bibir Anda. Ya, seperti ini ๐Ÿ™‚ Terima kasih, saya tahu Anda sedang tersenyum sekarang ini. Tema-temanya pun seputar how dan why dari sesuatu yang saya anggap menarik. Sengaja tidak saya bahas tentang opini-opini ‘serius’ yang banyak Anda temukan di situs-situs berita. Selain karena saya tidak menguasai, saya rasa kunjungan Anda ke blog saya bukan untuk mencari bahan perdebatan baru. Cukuplah informasi serius Anda dapatkan di situs-situs tersebut. Selebihnya, bolehlah Anda sedikit terhibur di sini. Tapi saya tidak pernah memaksa Anda untuk tersenyum, lho.
Dari sisi jurnalistik, mayoritas tulisan saya termasuk feature (karangan khas).
Sifat tulisan feature lebih “menghibur” dan “menjelaskan masalah” daripada sekedar “menginformasikan” karena feature adalah tulisan yang menuturkan peristiwa disertai penjelasan riwayat terjadinya, duduk perkaranya, proses pembentukannya, dan cara kerjanya. Ia lebih banyak mengungkap unsur how dan why sebuah peristiwa sehingga mampu menyentuh ketertarikan manusiawi (human interest) atau menggugah perasaan (human touch)
– dikutip dari buku “Jurnalisme Terapan”, karya Asep Syamsul M. Romli –
Ini pula yang menjelaskan frekuensi tulisan saya yang tidak bisa muncul sehari sekali. Proses menulis feature membutuhkan sekumpulan fakta, opini, dan angle yang tepat. Angle yang tepat inilah yang baru bisa saya peroleh maksimal dua kali seminggu, bahkan lebih sering kurang daripada itu. Angle ini sering muncul justru pada saat tidak sedang memikirkannya. Biasanya saat dalam waktu luang di perjalanan pulang, saat menikmati air hangat sepulang kerja, sampai saat sedang tidak khusyu di rakaat-rakaat shalat. Ayolah, Anda juga pernah merasakannya, kan? Saat ide-ide melintas cepat di sela-sela rakaat? Yang penting kita simpan dulu penjabarannya sampai shalat selesai. Jangan dibahas waktu shalat. Nanti makmum serempak mengucap “subhanallah” saat Anda sebagai imam langsung berdiri pada rakaat kedua. Salah satu angle terbaik yang saya dapatkan, juga terbukti dari banyaknya statistik kunjungan ke tulisan tersebut, adalah tulisan tentang chord lagu We Will Not Go Down yang muncul setahun silam. Setahun lalu, saat agresi Israel ke Jalur Gaza. Wajar saja, tulisan itu muncul 1-2 hari setelah penciptanya mempublikasikan lagu tersebut. Pada saat yang sama, saya juga sedang mencoba teknik mendapatkan chord suatu lagu. Lagu itu adalah studi kasusnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Selama menulis di blog, baik blog pribadi maupun berkomentar di blog orang lain, saya merasakan manfaat blog sebagai media tulisan yang membantu mendewasakan penulisnya. Alhamdulillah, saya merasa beruntung telah menulis di blog sebelum social media seperti Facebook (FB) dan mikroblogging seperti Plurk dan Twitter menjejali ruang dan waktu kita di dunia maya. Hal ini membuat saya lebih punya kesempatan untuk mengembangkan semangat menulis dengan serius. Serius artinya ada ide besarnya, lalu dijabarkan pada paragraf lead, sampai paragraf-paragraf berikutnya yang menjelaskan ide besar tersebut. Sehingga, terciptalah tulisan yang utuh. Ada idenya, dan ada bentuknya. Hal ini –silakan jika Anda tidak sependapat– tidak lagi didapatkan di social media atau mikroblogging. Para narablog kini tidak lagi sebanyak dahulu menuliskan idenya secara utuh dalam bentuk tulisan. Update status FB atau Twitter jauh lebih diminati daripada susah payah menyusun tulisan. Cukup 160 karakter di Twitter, Anda dapat menuai respon yang tidak sedikit dari follower atau teman Anda. Perasaan dapat berkomunikasi interaktif dengan lebih singkat dan lebih cepat inilah yang mungkin membuat keduanya begitu digemari daripada blog. Saya sependapat dengan Kang Romel yang berpendapat bahwa jika tidak diwaspadai, kecenderungan lebih asyik di FB daripada blog dapat mematikan budaya dan kreativitas berpikir dan menulis.
Tidak ada penulis manapun yang dapat berkembang tanpa umpan balik dari pembacanya. Dalam blog ini, Andalah, wahai para komentator, salah satu yang membuat saya bersemangat menulis. Saya sadar traffic blog ini belum sepadat para narablog yang menjadi simpul massa. Belum cukup memberi kebanggaan seorang komentator pertama dengan komentar khasnya, “Pertamax!” sebagai gambaran betapa sulitnya menjadi pemberi komentar yang pertama di antara sekian banyak penggemar. Saya senang mendapat komentar, yang hingga tulisan ini dibuat sudah mencapai 617 komentar, termasuk komentar saya sendiri. Jika bagian saya dihilangkan, mungkin tersisa lebih dari setengahnya. Jadi, rata-rata ada 3-4 komentar per tulisan. Mas Trian tercatat sebagai pemberi komentar terbanyak (30) sekaligus pemberi komentar pertama sejak blog ini dibuat. Saya akui bahwa keberanian untuk mempublikasi tulisan dalam bentuk blog, terutama di periode awal blog tercipta, banyak dipengaruhi oleh komentar-komentar awal. Maklum saja, kita belum cukup percaya diri untuk membiarkan orang lain membaca tulisan ‘baru’ kita yang kita nilai tidak penting, tidak tersusun dengan baik, sampai yang kehilangan ide besarnya. Jadi, sekalian saja saya berterima kasih pada mas Trian ini yang telah membesarkan hati untuk tetap nge-blog di periode awal. Walaupun kini bapak satu anak ini sudah jarang nge-blog, tapi sekira 2 tahun yang lalu narablog yang satu ini cukup populer ditandai dengan traffic nya yang tinggi dan komentatornya yang banyak. Rasanya lebih nyaman kalau blog kita ‘tumbuh’ bersama blog kawan-kawan kita, seperti tumbuhnya kemampuan berpikir dan menulis kita.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Rachma yang telah memberikan kreativ blogger award untuk gaya penulisan blog ini. Saya menilai banyak tulisan saya punya anak kalimat yang panjang. Saya sering merasa harus memasukkan sekian banyak ide dalam satu kalimat. Secara bahasa jurnalistik, ini tidak bagus. Oleh karena itu, tulisan-tulisan berikutnya insyaAllah akan lebih baik. Minimal tidak membuat pembaca terengah-engah menyelesaikan satu kalimat yang tidak kunjung selesai. Ide besar gaya penulisan sesuai visi misi blog ini. Saat pembaca menikmati tulisan, saya ingin mereka tidak kesulitan menemukan ide besarnya. Saya ingin mereka mencerna setiap kalimat dengan senang hati. Santai saja, tapi dapat ‘sesuatu’ setelah membacanya. Entah apa saya masih tertarik untuk mempertahankan misi ini. Siapa tahu ada misi lain yang lebih menarik untuk dilakukan. Selama Anda, sebagai pembaca, merasakan manfaat dari tulisan saya, tentu saya akan senang hati untuk tetap menulis, apapun gayanya.
Last but not least, sudah sekian banyak judul saya gunakan untuk blog ini, mulai dari nama sendiri sampai frasa yang saya rasa menarik. Sengaja saya memperbanyak update status FB agar jangan kalah cepat dengan berubahnya judul blog ini, hahaha…Begitu pula tema warna yang saya pilih di template bawaan wordpress ini. Memang rasanya lebih menarik jika punya desain sendiri dengan alamat sendiri, tanpa ada embel-embel wordpress.com. Hal ini saya rasakan lebih ‘menjual’, dan lebih profesional. Someday, insyaAllah.
Thank you, amigos. Thank you for your supports and critics. Terima kasih untuk orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah memberi warna tulisan saya. Mari kita tetap menulis, karena:
“Hanya mereka yang merasa hidup ini menarik dan mereka yang ingin membantu memajukan kota dan dunia yang patut terjun di bidang jurnalistik”
– dikutip dari buku “Jurnalisme Terapan”, karya Asep Syamsul M. Romli –

Belajar Gitar Klasik

Semenjak kemunculan acoustic fingerstyle guitarist Indonesia, Jubing Kristianto, rasanya bermain gitar klasik terasa lebih menarik untuk dipelajari. Setidaknya karena dua alasan berikut:

  1. Panggilan jiwanya untuk menjadi gitaris profesional membuatnya meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan sebuah tabloid yang sudah lama digelutinya. Tentu ia begitu mencintai alat musik ini dengan beragam bunyi dan komposisi lagu yang bisa dihasilkan dari gitar. Tidak sedikit penghargaan yang sudah diraihnya.
    • Kagum rasanya melihat musisi profesional yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk menggeluti musik. Musik sebagai profesi utama. Dan untuk yang satu ini kawan, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk berlatih. Misalnya saja, menurut sebuah referensi, untuk menjadi pemain biola profesional dibutuhkan waktu berlatih setidaknya 7-8 jam sehari! Persis seperti orang kantoran. Saya rasa tidak jauh berbeda juga untuk alat musik lainnya. Sampai berapa lama? Jika ingin menjadi outliers, setidaknya lakukanlah minimal selama 10 tahun (horeee!).
    • Bergantung pada motivasi Anda bermain musik, Anda dapat menentukan besarnya pengorbanan (waktu, biaya, dan sebagainya) yang akan Anda lakukan. Bagi saya yang tidak bercita-cita menjadi musisi profesional, rasanya cukuplah belajar dan melancarkan permainan setengah sampai 1 jam sehari. Satu jam terasa sudah cukup mewah. Lumayan, selain menghibur diri, rasanya bisa sekalian senam otak ๐Ÿ™‚
    • Kapan waktu terbaik untuk berlatih, dan bagaimana? Setiap orang punya waktu-waktu tertentu yang dirasa optimal untuk berlatih musik. Bagi saya, waktu itu adalah pagi hari, saat pikiran dan tenaga masih segar. Berhubung saat berlatih banyak melakukan kesalahan :P, maka pikiran yang segar dan mood yang baik akan sangat membantu. Selain itu, sebelum mulai bekerja (dan berpikir), senam otak di pagi hari akan membantu ‘membangunkan’ dan menyiapkan otak untuk berpikir kreatif. Sebagai referensi, tips berlatih salah satunya dapat dibaca di sini.

    Intinya, musisi profesional telah menginspirasi orang lain untuk menemukan keindahan dan kecintaan yang diwujudkan dalam permainan yang indah dan ‘dalam’. Mendengarnya membuat kita jatuh hati sehingga tertarik untuk ikut mempelajarinya. Untuk kasus gitar klasik ini, walaupun sempat mengikuti les gitar klasik saat SMP, tapi rasanya ‘hambar’ sehingga ditinggalkan. Nah, kehadiran bung Jubing dan permainannya telah membangkitkan kenangan lama dan mengubah rasa ‘hambar’ tadi menjadi ‘manis’. Walaupun terasa ‘pahit’ saat berlatih, tapi kalau sudah bisa, ‘manis’ rasanya. Lebay? Ah dikit-dikit lebay, plis deh ๐Ÿ˜›

  2. Banyak lagu-lagu Indonesia dalam albumnya yang diaransemen ulang untuk dimainkan dengan gaya acoustic fingerstyle tersebut seperti Ambilkan Bulan, Melati dari Jayagiri, Indonesia Pusaka, Delman Fantasy, Hujan Fantasy, dan sebagainya. Menurutnya, komposisi lagu-lagu Indonesia lama ini tidak kalah menarik dibanding lagu-lagu import. Ini menarik sekali. Setelah diaransemen ulang, lagu-lagu tersebut terdengar ‘ramai’ dan indah. Bangga juga rasanya memainkan lagu Indonesia aseli dalam gaya gitar klasik. Biasanya kan yang dimainkan adalah karya-karya komposer Barat yang kita sama sekali tidak mengerti cerita lagu-lagu itu, atau kalaupun tahu, rasanya tidak nyambung dengan iklim kehidupan tanah air ini. Keren sih kalau sudah memainkan karya-karya klasik yang njelimet dan terasa ‘tinggi’. Lalu orang-orang bertepuk tangan tanda kagum. Kagum karena tampak canggih, walaupun tidak mengerti ceritanya ๐Ÿ˜›
    Dilihat dari aransemennya, jelas tak mudah untuk dibuat. Jadi, salut untuk bung Jubing yang sudah menyumbangkan karya aransemen lagu-lagu Indonesia untuk gitar klasik. Singkatnya, senang dan bangga memainkan lagu Indonesia dengan gaya acoustic fingerstyle.

Dua alasan ini cukup, kan? ๐Ÿ™‚

Lalu, belajarnya mulai dari mana?
Banyak jalan untuk memulai belajar gitar klasik ini. Paling mudah ya ikut kursus. Tak perlu banyak urusan, ikuti saja kurikulum yang sudah disediakan. Atur waktu, bayar gurunya, beli bukunya, selesai urusan. Tapi jangan lupa berlatih dan berlatih. Biasanya untuk yang satu ini butuh motivasi lebih. Secara alami kita akan malas berlatih. Rasanya sudah cukup dengan mengikuti kursus dan hadir saat jam pelajaran. Bangga sudah ikut kursus, padahal kan baru mulai, belumย  bisa apa-apa. Seringkali waktu kursus yang hanya setengah jam habis untuk melatih materi pertemuan sebelumnya karena tidak dilatih di rumah. Semakin sulit lagu, semakin butuh waktu berlatih. Jika tidak disikapi dengan baik, sayang uang dan sayang waktu. Lalu akhirnya frustasi karena merasa semakin tertinggal. Semenjak itu siswa tidak pernah datang lagi (gurunya juga tidak mencari), dan les gitar pun berakhir tragis. Bagaimana, terasa menjiwai, bukan? Maklumlah, pengalaman pribadi ๐Ÿ˜›

Tentu banyak pula siswa yang sukses mengikuti kursus ini. Syaratnya selain bakat, dukungan orang tua, lingkungan, guru, dan fasilitas, tentu tidak lupa berlatih dan berlatih. Sayang sekali tidak ada cara instan bermain musik. Ada sih, kalau melihat judul buku-buku musik rilis terbaru belakangan ini. “Menjadi gitaris handal dalam sehari”,”Cara Cepat Bermain Keyboard”, “Jurus Cepat Menguasai Accord”, dan sebagainya. Sebagai catatan, contoh tersebut bukanlah judul asli buku, saya hanya mengarang indah sesuai ingatan yang intinya menawarkan cara instan jago bermusik. Bisa jadi memang bisa dikuasai dalam waktu singkat untuk jurus-jurus atau lagu-lagu tertentu, tapi biasanya penulis tetap sangat menyarankan untuk memperbanyak latihan. Lagipula, kita membutuhkan bumbu-bumbu kesalahan dan kesulitan untuk mendapatkan feeling yang pas, bukan begitu?

Cara berikutnya adalah dengan otodidak. Belajar sendiri. Sumbernya? Wuih, banyak sekali. Situs, buku, software, apapun namanya banyak sekali memberikan pelajaran semacam jump start atau quick start bermain gitar klasik. Metodenya macam-macam, tinggal pilih sesuai kebutuhan dan kesukaan. Yang jelas tidak ada jaminan mutu, karena tidak ditemani guru yang bersertifikat, hehehe. Tapi yang menyenangkan ada proses berpikir dan merasakan saat belajar. Mau belajar apa dulu, dari mana, bagaimana caranya, berapa lama, kapan saja, setelah ini apalagi, dan seterusnya. Kita jadi lebih fleksibel mengukur dan mengapresiasi diri. Kadang, dalam kursus guru sudah memberikan materi kedua saat yang pertama belum kita kuasai dengan baik. Belum ‘klik’. Wajar saja karena ada tuntutan kurikulum dan waktu. Jalan tengahnya tentu mengkombinasikan otodidak dan berguru. Selain bisa berpikir dan mengatur diri, adanya guru jelas dapat memberikan ilmu lebih berikut umpan balik berupa kritik dan masukan yang kita butuhkan untuk mengembangkan permainan kita.

Jadi, selamat belajar gitar klasik.

Sebagai penutup, tak seru jika tidak dicoba langsung. Berikut ini dari lagu “Ambilkan Bulan”. Selamat mendengarkan.
Oya, mohon maaf jika tidak sebaik aslinya ๐Ÿ˜€

———————————————-
Keterangan: Gambar diambil dari sini

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑